Jarak Antara Adzan Dengan Iqamah
JARAK ANTARA ADZAN DENGAN IQAMAH
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
اجْعَلْ بَيْنَ أَذَانِكَ وَإِقَامَتِكَ نَفَسًا قَدْرَ مَا يَقْضِي الْمُعْتَصِرُ حَاجَتَهُ فِي مَهْلٍ , وَ قَدْرَ مَا يَفْرُغُ الْآكِلُ مِنْ طَعَامِهِ فِي مَهْلٍ
“Jadikanlah antara adzan-mu dengan iqamat-mu ada kelonggaran, seukuran al-mu’tashir [1] (menyelesaikan hajatnya dengan tidak tergesa-gesa) dan seukuran orang yang makan menyelesaikan makanannya dengan tidak tegesa-gesa” [Silsilah Al-Haadits Ash-Shahiihah No. 887]
Hadits ini diriwayatkan dari hadits Ubaiy bin Ka’ab, Jabir bin Abdullah, Abu Hurairah dan Salman Al-Farisi
1. Adapun hadits Ubaiy, diriwayatkan oleh Abdullah bin Al-Fadhl dari Abdullah bin Abi Al-Jauza darinya (Ubaiy) dengan hadits ini. Dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam Ziyaadaat Al-Musnad (V/143) dan oleh Adh-Dhiyaa Al-Maqdisi di dalam Al-Muntaqa min Masmuu’aatihi bi Marwin (q 141/2).
Aku (Al-Albani) berkata : Ini adalah isnad yang dha’if. Abdullah bin Abi Al-Jauza, tidak dikenal dan mereka (para ahli hadits ,-pent) telah melalaikannya, sehingga mereka tidak menuliskan biografinya. Benar memang ada yang menyebutkannya di dalam Al-Kuna dari At-Tajiil. Di sana dikatakan : “….Abu Al-Jauza, dari Ubaiy bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Al-Fadhl meriwayatkan darinya (Abu Al-Jauza), dia tidak dikenal (majhul), Abdullah Al-Jauza, (mengambil riwayat) dari Ubaiy bin Ka’ab. Sementara Abu Al-Fadhl, seorang yang majhul (tidak diketahui identitasnya) mengambil riwayat dari Abu Al-Jauza. Al-Azdiy berkata : (dia) ditinggalkan. Al-Husainiy berkata di dalam Al-Ikmal. Mungkin dia adalah Abdullah bin Al-Fadhl.
Aku (Al-Albani) berkata : Kemungkinan inilah yang nyata, haditsnya tentang perintah untuk memberi jarak antara adzan dan iqamat, dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam ziyaadaatnya dari jalan Salim bin Qutaibah Al-Bahiliy dari Malik bin Mighwal dari Abu Al-Fadhl. Dia juga mengeluarkan hadits tersebut dari riwayat Mu’aarik bin Abbad dari Abdullah bin Fadhl dari Abdullah bin Abi Al-Jauza dari Ubaiy. Tentang Abdullah bin Al-Fadhl, ada biografinya di dalam At-Tahdziib. Apabila Abdullah ini dijuluki Abu Al-Fadhl, berarti Abu Al-Fadhl itu adalah Abdullah bin Al-Fadhl, dan jika tidak maka kemungkinan gelarnya adalah Ibnu Al-Fadhl, tetapi kemungkinan terjadi kesalahan tulis.
Aku (Al-Albani) berkata : Dan (yang) menguatkan (kemungkinan) salah tulis, bahwasanya di dalam Al-Musnad yang sudah dicetak secara benar adalah Ibnu Al-Fadhl.
2. Adapun hadits Jabir, ia diriwayatkan oleh Abdul Mun’im Shahibus bin Siqaa, dia berkata : Yahya bin Muslim telah becerita kepada kami, dari Al-Hasan dan Atha darinya (Jabir) dengan (hadits) ini. Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (1/373), Al-Uqaili di dalam Adh-Dhu’affa (266) Ibnu Adi di dalam Al-Kamil, Al-Baihaqi (I/428) dan Al-Khathib di dalam Talkhish Al-Mutasyabih (26, 27).
At-Tirmidzi berkata : Kami tidak mengetahui kecuali dari sanad ini, dari hadits Abdul Mun’im, isnad ini majhul (tidak diketahui,-pent) dan Abdul Mun’im seorang syaikh dari Bashrah.
Al-Uqaili berkata : Tidak ada yang mengikuti dia (yakni :Abdul Mun’im) sedang dia adalah munkarul hadits (mungkar haditnya dan sangat lemah).
Al-Baihaqi berkata : begitu juga sejumlah perawi telah meriwayatkan hadits tersebut dari Abdul Mun’im bin Nu’aim Abu Sa’id. Al-Bukhari berkata : dia munkarul hadits, dan Yahya bin Ma’in telah mendha’ifkan Yahya bin Muslim Al-Buka Al-Kufi. Al-Baihaqi dengan ucapannya : (Begitu pula …) seakan-akan mengisyaratkan bahwa ada sejumlah perawi yang ditinggalkan. Dan itu ternyata demikian, karena Al-Hakim (I/204) telah meriwayatkan dari jalan Ali bin Hammad Ibnu Abi Thalib, bahwa ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdul Mun’im bin Nu’aim Ar-Rayahi, telah menceritakan kepada kami Amr bin Faid Al-Aswari, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muslim dengan (hadits) ini. Maka (Al-Hakim) memasukkan Amr bin Faid di antara Abdul Mun’im dan Yahya bin Muslim dan seraya berkata : Di dalam isnad ini tidak ada yang tercela kecuali Amr bin Faid, sedangkan sisanya adalah para syaikh dari Bashrah, dan ini adalah sunnah yang asing, aku tidak mengetahui sunnah ini mempunyai satu sanadpun kecuali ini.. Selanjutnya Adz-Dzahabi memberikan komentar berikut : “Aku berkata Ad-Daruquthni mengatakan : Amr bin Faid adalah oeang yang ditinggalkan”.
Aku berkata (Al-Albani) : Keduanya (Adz-Dzahabi dan Al-Hakim, -pent) sama-sama lupa, bahwa di dalamnya juga ada Abdul Mun’im, sedangkan dia sangat lemah, sebagaimana hasil ucapan Al-Bukhari terdahulu : Munkarul hadits. Padahal Adz-Dzahabi juga sudah mengatakan di dalam Adh-Dhu’afaa wal Matruukiin : (Dia dilemahkan oleh Ad-Daaruquthni dan lainnya). Kemudian aku melihat Al-Hafidh Al-Iraqi di dalam Takhrij Al-Ihya (I/157) telah mengkritik Al-Hakim semisal apa yang telah kami sebutkan.
3. Adapun Hadits Abu Haurairah, Ia dikeluarkan oleh Abu Asy-Syaikh di dalam Al-Adzan dan juga Al-Baihaqi dari jalan Hamdan bin Al-Haitsam bin Khalid Al-Baghdadi (Ia mengatakan) : Telah bercerita kepada kami Shubaih bin Umair As-Sairafi telah bercerita kepada kami Al-Hasan bin Ubaidillah dari Al-Hasan dan Atha’, keduanya dari Abu Hurairah, Al-Baihaqi berkata : Isnadnya tidak dikenal
Aku (Al-Albani) berkata ; Dia mengisyaratkan bahwa Shubaih tidak dikenal, sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidzh di dalam biografinya dari kitab Al-Lisan dan dia menyebutkan mngikuti aslinya bahwa Al-Azdi berkata : Padanya ada kelemahan. Hamdan bin Al-Haitsam adalah guru Abi Asy-Syaikh dan dia mengtsiqahkan (gurunya), akan tetapi dia membawa sesuatu yang mungkar dari Ahmad. Silahkan lihat Al-Miizaan.
4. Adapun hadits Salman, maka ia diriwayatkan oleh Abu Asy-Syaikh juga, sebagaimana di dalam Al-Jaami Ash-Shaghiir. Al-Munawi tidak membicarakan isnadnya dan (juga tidak membicarakan isnad hadits) sebelum ini, bersamaan dengan ini dia telah menutup pembicaraannya atas hadits ini dengan ucapannya, dan dengan ini semua diketahui (kesalahan-kesalahan ,-pent) penyusun [2] yang menghasankannya, kecuali kalau yang dimaksudkan adalah Hasan Lighairihi [3]
Aku (Al-Albani) berkata : Dan inilah pendapatku, bahwa hadits ini hasan, karena sanad-sanadnya kecuali sanad yang ketiga, tidak ada kedhaifan yang sangat.
Wallahu ‘alam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanggrejo Solo 57183, Telp. 0271-5891016]
_____
Footnote
[1]. Al-Mu’thashir disini adalah (orang) yang butuh buang air besar, untuk bersiap-siap (melaksanakan) shalat. (Kalimat) itu berasal dari kata (al-ashr) atau (al-ashar), yaitu (orang) yang berlindung dan yang bersembunyi.
[2]. Yaitu penyusun Al-Jaami Ash-Shaghiir, Imam As-Suyuthi, pent
[3]. Yaitu hasan karena dikuatkan oleh sanad-sanad yang lain, -pent
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/997-jarak-antara-adzan-dengan-iqamah.html